Its depend on you, now!

Sabtu 11 April 2020

Prolog : Tulisan ini dibuat atas diskusi bersama kelompok dan banyaknya pemikiran dikepalaku. Semoga aku atau siapapun yang membaca ini bisa mengingat kembali bahwa hakikatnya apapun yang sedang kita tanam sekarang akan kita tuai dikemudian hari. Mengingat kembali bahwa hidup hanya sekali dan waktu terus berjalan, sepertinya tidak ada kata sia-sia atau main-main belaka. Selamat mendidik diri Tiara!

Konten :

Hari ini di sebuah malam minggu, seperti biasa aku dan geng melingkarku mengadakan melingkar online. Sebuah keberuntungan aku bisa bergabung kedalam lingkaran pertemanan ini kembali diingatkan bahwa hidup kita hanya sekali dan beruntungnya aku bisa dimasukan ke lingkungan yang saling menguatkan untuk dunia dan juga akhirat. Insya Allah sampai surgaNya aamiin.

Diskusi malam ini dibuka dengan sebuah pembahasan yang biasanya hanya segelintir orang saja yang memaknainya secara mendalam

"Jika seorang anak gadis tidak menutup kerudung, apakah orang tuanya akan mendapatkan dosa?"

Pertanyaan tersebut dibahas berdasarkan twitter yang sedang ramai mengatakan bahwa hadist tersebut dhoif. Kita mendiskusikan mengenai root dari sebuah pertanyaan dan case, dan disadarkan bahwa ada hal yang lebih fundamental berkaitan dengan kerudung dan juga dosa yang ditimpakan kepada orang tua. Topik yang lebih fundamental adalah 

"kok bisa orang tua mendapatkan dosa atas apa yang dilakukan oleh orang lain sekalipun itu anaknya? bukankah seseorang hanya akan menanggung dosa yang dilakukan oleh dirinya sendiri?"

Memang betul, kita hanya akan menanggung dosa diri kita sendiri. Berbuat baik dan beribadah memang merupakan hubungan intim antara hamba dengan tuhannya. Tidak ada sebutan seorang makhluk akan menanggung dan menebus dosa hamba lain dan hal ini sudah disebutkan di Alquran surat Alfatir : 18  (bisa di klik). Lalu mengapa bisa orang tua menanggung dosa anaknya?

Mengulik ya sebuah pepatah, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya. Anak sama ayah ibunya pasti mirip. Mengatakan secara gamblang bahwa anak akan terbentuk dari  bagaimaan orang tuanya. Bukan hanya mengenai bagaimans seseorang orang tua akan mendidik dia dengan metode A, B C namun seorang anak akan menjadi replikasi dan imitasi perilaku keseharian orang tuanya. Yes, children will imitate and emulate their parents. Karena pada dasarnya anak itu lahir dalam kondisi belum memahami bagaimana sih hidup itu, otaknya hanya akan berkembang based on experience and stimulation (disebutkan dalam buku "the whole brain child - Daniel Siegel, read the book or read the summary click here) dan salah satu sumber stimulasi pengelihataan, pendengaran dan seluruh panca indra ia dapatkan dari orang tuanya (research and other articles can click here, here and just type " children imitate and emulation from parents" in googles for further read )

Jadi, apabila orang tua memiliki pola kehidupan yang baik, maka si anak akan secara tidak langsung dan tertanam dalam dirinya sebuah mekanisme dan setting kehidupan yang baik pula. Pola kehidupan disini tidak hanya selalu memberikan segala kesenangan ya namun juga mengajarkan segala bagaimana teknik survive untuk hidup juga dan menggunakan pemikirannya dengan bijak (aku pernah menuliskan artikelnya disini)

Kelanjutannya adalah, kita teringat apabila kita mengajarkan hal baik maka kita akan mendapatkan kebaikan. Dan ini disebutkan dalam beberapa ayat alquran dan hadist


  • Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110).
  • Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Oke jadi apabila kita menunjuki atau memberi tahu yang baik maka kita akan mendapatkan pahala orang yang mengerjakan. Mungkin itu adalah dasar pemikiran bahwa ketika seorang anak gadis tidak menggunakan kerudung maka orang tuanya mendapatkan dosa. Sesimpel, bukankah kerudung itu wajib, menutup aurat itu wajib, mengapa orang tuanya mendiamkan? begitu kali yaa analogi pengajaran dan kausalitasnya. 

Lalu muncul pertanyaan lain
"Bagaimana kalau ayah/Ibu sudah meninggal padahal anak masih belum baligh" 

Okey, pada pertanyaan ini poin yang perlu dihindari adalah apabila kita meninggal anak kita tidak akan ada yang memberitahu dengan kata lain ia berada di lingkungan yang tidak baik dengan kata lain tidak ada yang mengingatkan atau bahkan lingkungannya tercemari dan si anak ikut-ikutan jadi buruk? Naudzubillaaah min dzalik

Mengingat ada salah satu hadist 
 "setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban apa yg dipimpinnya" 

Dan bukankah setiap manusia adalah khalifah, dan setiap anak adalah amanah? Maka apabila kita meninggal, anak adalah hal yang akan ditanyai.

Sekalipun orangtua itu dah wafat? Ya
Anaknya dah menikah? Ya

YA Rabbi, lalu muncul pertanyaan lain. Sampai kapan? 

Hasil diskusi tadi malam menyebutkan ada beberapa poin terkait jangka waktu


  • Ketika orangtua telah mendidikkan hal hal terkait syariat tadi ke anak, sudah diajarkan, diingatkan terus dinasihatkan seumur hidupnya
  • jika misalnya seorang ayah wafat, ia mewariskan ibu yg shalihah bagi anaknya, maka ia akan terlindung dr dosa. Tapi jika mewariskan ibu yg tidak shalihah utk mendidik anak2nya maka ia akan tetap mendapat dosa.
Okey noted ya. Memang kita berkewajiban untuk membentuk si anak melalui segala investasi yang kita punya sekarang, networking, memilih tempat tinggal, dan yang paling penting menentukan siapa yang akan menjadi orang tua satunya atau pasangan kita untuk memberikan pengajaran. Once kita sudah melakulan lewajiban maka terlepaslah kewajiban itu dari kita. 

Sekarang paham kan tir kenapa dibuku prophetic parenting bab awal membahas soal memilih pasangan hidup? Padahal buku parenting which is buat anak anak. Ooh karena ini berimpact sama kehidupan si anak nanti.
Kembali tertampar aku. Sudah seberapa baik kah aku? Huhu

Sekarang ku nangkep logic dari hadist mengenai amal jariyah. Bahwa anak yang baik atau ilmu yang bermanfaat bisa menjadi sumber keran pahala ketika sudah meninggal. Karena anak adalah subjek (minimum) yang terus dan bisa diberikan ilmu yang bermanfaat. Once anak tersebut melakulan hal baik dari ilmu kita maka kita pun akan mendapatkan ganjarannya. Once dia mengajarkan pada anaknya dan anaknya mengajarkan lagi pada anaknya dan teruuuss,insya Allaah segala kebaikan akan menjadi penerang di hari akhir kita. Hmm kalau masing masing generasi punya anak 2 maka akan ada berapa calon sumber kebaikan? 2 pangkat  .... ah sudahlah haruskah aku memasukan estimasi sumber kebaikan? Dan estimasi pahala kebaikan apabila si anak, anaknya anak melakukan 1 kebaikan kita tiap hari? Sungguh akan seru tapi hey ini hari minggu, dan ada prioritas kegiatan lain! Haha mari lanjut tir.

Pertanyaan lain muncul? 
"Lalu apabila kita tidak diajarkan yang bail bagaimana? "

Maka, jadilah pemutus benang merah tersebut. Aku harus bisa dan memaksa diri untuk kemudian menjadi sumber kebaikan untuk mama dan ayahku. Bukanlah tiap inci daging dan kulit seorang anak mengalir asi ibunya dan jerih payah nafkah ayahnya?

Sip? Lanjut ya.

Perlu diingat bahwa bentuk pengajaran dan pembelajaran seorang anak tidak hanya berdasarkan perkataan namun juga perbuatan, they learn from you, yes from your life directly. Dan hal tersebut menjadi tamparan bukan? Apakah kita sudah bisa memberikan contoh dan habit baik kepada generasi kita kelak? Belum lagi bagaimana kita memberikan contoh dan tabiat serta buah pemikiran yang apik kepada anak untuk menghadapi masa depan?

Kembali pertanyaan yang muncul dikepalaku yaitu

"Bentuk habit dan tabiat seperti apa yang baik untuk masa depan?"

hei hei hei, sebelum mempertanyakan habit serta tabiat seperti apa yang baik untuk masa depan, lebih baik kita definisikan dulu seperti apa masa depan yang sedang akan kita hadapi. Lebih tepatnya habit dan tabiat yang akan kita bentuk seharusnya bisa menjawab dan mentackle permasalahan masa depan kan? Minimal buat diri kita dahulu (karena toh aku belum menikah, even belum punya calon jadi yaaa yasudah)

Issue dan topik yang sedang hangat dibahas mengenai masa depan adalah adanya Vuca World. Sebenarnya apa itu VUCA? Vuca adalah Volatile, Uncertainty, Complex and Ambuguity. (i will not reveal this issue that much in this articles but you can read more in HBR article or other source here such as forbes or here ) so bentuk habit tabiat yang harus kita bentuk untuk hidup kita seharusnya adalah bisa menjawab segala ketidak pastian dalam future kedepannya. 

"loh kalau hidup semakin tidak jelas, bukankah artinya tidak baik apabila kita menjadi rigid atas sebuah habit?"

wait wait wait, justru itu. Dengan mengalirnya arus kehidupan, dengan semakin kerasnya angin kehidupan yang bisa membawa kita dan menerpa kita, seharusnya kita bisa membentuk fundamental yang lebih kokoh. Analoginya adalah, apakah pohon dengan akar yang kuat akan mampu berdiri tegak, hidup dengan damai, tau kapan musim berbuah dan mencari akar yang dalam agar mampu mencari air, menjadi pohon yang rimbun dan bisa survice tidak tumbang bahkan terbawa terpaan arus sungai kehidupan dan juga terpaan angin?

Artinya apa? just like a high building, just like a tree, we nurture ourself to making structure, something has to be firm and fix as fundamental to rely on. Dan salah satu bentuk structure yang dan sesuatu hal yang bisa kita rely on adalah kebiasaan atau tabiat. Contoh tabiat yang seharusnya dibentuk untuk yang beragama islam adalah sholat.

Semua ini kembali mengingatkanku pada pemikiranku ketika kuliah ketika ditanya  oleh adik adik mentor ku "mengapa kak tiara begitu getol mengisi hari-hariku dengan banyak kegiatan" mungkin aku akan menjawab karena aku ingin ketika memiliki keluarga aku bisa mendukung dan mensupport keluargaku dan artinya aku harus sudah biasa dengan segala aktivitasku ditambah dengan kegiatan lain mensupport keluarga misalnya atau kegiatan lain seperti S2 atau ketika dimasa depan aku akan mengampu amanah yang lebih besar lagi. Dan itu artinya aku harus sudah selesai dengan diri sendiri. Dan untuk bisa selesai dengan diri sendiri, aku harus membentuk habit yang membiasakan diri dengan hal baik. Bukankah otak adalah otot dan selayaknya otot, agar terbentuk baik maka perlu dilatih dengan mengangkat beban dan beraktivitas lebih?

Dan diskusi pertemananku tadi adalah mengenai bagaimana kita bisa membentuk diri kita untuk kemudian membentuk generasi kita dan terhindar dari dosa karena mengajarkan hal-hal buruk pada anak kita nanti? beberapa poin mengenai habit dari hasil diskusi melingkar dan juga kajian kontenku mengenai mengapa kita sulit membentuk good habit dan term lain ketika menyusun konten podcast untuk wewomen.id (bisa didengar disini) adalah 
  • Tetapkan tujuan! so your habit akan merujuk pada tujuanmu
  • Breakdown dari tujuan,  perlu aktivitas atau latihan atau hal apa untuk  mencapai itu
  • Kenali pola kehidupan, jangan sampai membentuk habit membuatmu lupa bahwa kamu makhluk hidup butuh makan, perlu olah raga, perlu menelfon keluarga. Petakan kondisi saat ini, kalau di problem solving ini tahap understand the situation.
  • Tata dan prioritaskan kegiatan, jangan semua kegiatan harus kamu ambil, pelan pelan susun habitmu karena faktanya 
  • Make and activities as easiest as you can dengan menentukan secara clear dan detail, apa aktivitas penentunya (atau pendorongnya),  kapan, apa dimana contoh aku harus sholat duha, antara jam 8-10 minimal X rakaat. atau aku harus puasa senin kamis. Aku harus tahajud dan sunnah subuh means aku harus bangun jam 4 dan artinya aku harus masang alarm. 
  • Make it fun! bukan berarti kita jadi leyeh leyeh dan nonton film ya tapi bentuk habit kita menjadi lebih seru seperi tantangan bareng temen dan saling diskusi atau laporan,  ada reward ketika sudah mencapai suatu target misalnya berhasil baca 2 buku maka boleh beli buku lain (ini harus banget aku terapkan mengingat aku suka nimbun huhu) atau boleh nonton film setelah baca alquran X halaman dll 
  • Dont excuse twice 
  • Tracker! use it and stick it. Beberapa teman-teman mungkin menggunakan buku catetan journal yang lucu yang bikin semangat atau beberapa seperti aku menggunakan aplikasi. Ada aplikasi bagus di playstore yaitu 'Habits' dimana aplikasi tersebut punya beberapa feature yaitu bisa track tiap hari, ada widgetnya dan bisa ditaruh di homepage hp plus tinggal tap doang udah ke record habit kita plus dia gratis :) HEHEHE
Berbicara soal habit, sayapun masih belajar untuk membentuk habit yang baik dan menurutku setiap level kehidupan pasti akan belajar membentuk habit yang baik bukan? Ketika sekarang habit yang terbentuk adalah mencari ilmu, mengurus komunitas, sembari memperhatikan keluarga dan beribadah. Ketika punya suami maka akan belajar habit keluarga, ketika punya anak akan ada aktivitas baru yaitu mengurus anak. 

Salah satu pengingat dari Mba Ita atas diskusi tadi adalah "jangan sampai ketika sudah di level kehidupan berikutnya, kita keteteran karena kita belum selesai membentuk diri kita, ketika berkeluarga prioritas ibadah kita masih acak-acakan dan jelas itu akan ngaruh ke anak kita nanti" dan tentu, balik lagi ke topik paling awal, bukankah orang tua akan menanggung pahala maupun dosa yang seorang anak lakukan? Semoga kita bisa menyelamatkan diri kita dan menyelamatkan keluarga kita. 

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ


“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38)
Oh ya, sebelum terlupa, ada beberapa buku (aku cantumkan link detail review buku, bukunya beli sendiri ya atau pinjam aku) dan website bagus terkait dengan pembentukan habit ini
Epilog :  Semoga kita bisa sama sama terus memperbaiki diri, menyelamatkan diri dan membentuk generasi yang lurus dan bermanfaat serta selamat dunia dan akhiratnya. Aamiin

Warm Regards
Tiara Annisaa





Sumber : 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Kewarasan

Edisi Hari #1 Menoreh Pagi

Tentang Berkembang